Artikel

garuda

Layanan Disabilitas pada Pengadilan Negeri Majene

Oleh: Ghalib Galar Garuda, S.H.

Merupakan salah satu misi Mahkamah Agung dalam mewujudkan Badan Peradilan yang Agung, yaitu memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan. Dalam pelaksanaan misi tersebut, badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu menetapkan standar pelayanan yang tentunya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama bagi penyandang disabilitas. Pengadilan Negeri Majene sebagai Lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung khususnya pada tingkat pertama telah membuat inovasi terkait pelayanan bagi penyandang disabilitas, di antaranya adalah sebagai berikut:

Selengkapnya...

garuda

Akses Keadilan Bagi penyandang disabilitas

Oleh: Ghalib Galar Garuda, S.H.

Dalam salah satu dari 8 nilai utama Mahkamah Agung, ada satu nilai yang cukup menarik, yaitu “perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Para pemikir pasti memiliki alasan kenapa memasukkan nilai tersebut dalam nilai utama Mahkamah Agung. Bahwa setiap warga negara di hadapan hukum mempunyai hak yang sama tidak ada yang dibeda-bedakan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum atau asas persamaan di mata hukum. Lantas apakah ada kelompok masyarakat yang tidak bisa atau memiliki hambatan untuk meraih haknya tersebut? Salah satu contoh kelompok yang kesulitan dalam memperoleh hak yang sama adalah kaum disabilitas. Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Padahal sudah jelas disebutkan dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dikatakan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat;

Hak Asasi Manusia adalah sebagian dari kehidupan manusia yang harus diperhatikan dan dijamin keberadaannya oleh negara, khususnya di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Berdasarkan variannya penyandang disabilitas dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu : difabel intelektual (retardasi mental dan slow learner), difabel mobilitas (tunadaksa, gangguan tubuh/kaki, paraphlegia, autis, dll), difabel komunikasi (gangguan wicara, gangguan pendengaran, dll), difabel sensori (tunanetra, tunarungu, dll), dan difabel psikososial. 

Pandangan yang melekat terhadap kaum difabel dimata masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, masih menganggap mereka merupakan aib bagi keluarga, orang yang harus dikasihani dan diberi simpati. Di sisi lain, masyarakat perlu diberi pengetahuan lebih jauh bahwa kelompok disabilitas juga bagian dari masyarakat. Seringkali penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam bermasyarakat dan masuk ke dalam kehidupan sosial, dan diperparah dengan sarana-prasarana publik belum terfasilitasi dan terpenuhi dengan baik.

Sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Agung dan Pengadilan di bawahnya juga melayani kelompok masyarakat disabilitas sebagai pengguna layanan ataupun pencari keadilan. Karena keterbatasannya penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum baik itu sebagai korban, tersangka/ terdakwa, saksi, atau hanya sebagai pengguna layanan seringkali berpotensi mendapatkan diskriminasi dan pelanggaran atas hak peradilan yang layak dan berkeadilan.

Mahkamah Agung melalui Dirjen Badilum sudah berkomitmen mengakomodasi pemenuhan hak dan perlindungan bagi penyandang disabilitas dengan mengeluarkan SK tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di bawahnya. Peraturan ini memuat poin-poin antara lain: pedoman pelaksanaan pelayanan bagi penyandang disabilitas, etika berinteraksi dan media informasi, format MoU kerja sama disabilitas, SOP disabilitas, sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas termasuk panduan guiding block danwarning block, dan juga format form penilaian personal baik perdata maupun pidana. Selain fokus pada infrastruktur akses bagi penyandang disabilitas, MA juga menyediakan panduan pelayanan dan dasar hukumnya dalam SOP disabilitas.

Untuk mengantisipasi bervariasinya handicap atau keterbatasan, keunikan dan cara interaksi yang berbeda-beda pada masyarakat penyandang disabilitas, sistem hukum pada pengadilan dituntut untuk lebih fleksibel, adaptif dan memfasilitasi hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas. Karena itu, pada awal pelayanan kelompok disabilitas dilakukan profile assessment dengan mengisi form penilaian personal. Profile assessment akan mendeteksi secara mendalam terkait hambatan-hambatan mendasar yang melekat dengan kepribadian difabel yang berhadapan dengan hukum, baik itu tingkat kemampuan mentalitas, kemampuan berbicara, kemampuan sensitifitas, kemampuan daya tahan fokus, kemampuan menahan diri, dan seterusnya. Dari profile assessment, pengadilan bisa menganalisan dan menyediakan kebutuhan penerjemah, pendamping difabilitas, ahli, pendamping hukum, lingkungan peradilan yang accessible, pemeriksaan yang fleksibel, pemeriksaan yang memperhatikan daya fokus difabel dan kebutuhan adanya aparat penegak hukum yang memahami difabilitas sesuai dengan kebutuhan. 

Namun, sekali lagi usaha pembangunan infrastruktur, sarana prasarana juga harus diikuti dengan pembangunan manusianya. Petugas PTSP dan security harus dibekali dengan kemampuan dan etika dalam berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Hal ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan Dinsos, SLB atau pihak terkait dan memberikan pelatihan kepada petugas sebagai garda terdepan pelayanan. Dengan pelayanan yang memuaskan, bisa mengembalikan kepercayaan publik. Bahwa setiap perubahan radikal juga perlu diimbangin dengan pembaruan secara terus menerus. Dilakukan maintenance, monitoring dan evaluasi secara berkala. Sehingga pengadilan yang lebih humanis dan pelayanan yang inklusif tidak lagi menjadi ancaman bagi pencari keadilan penyandang disabilitas. Sehingga nilai perlakuan yang sama di hadapan hukum benar-benar terwujudkan.

Ornamen kiri
Ornamen kanan
WhatsApp
Majene, Indonesia